Pahlawan Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara [google] |
Tanggal kelahirannya saat ini diperingati di Indonesia juga sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sisi dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, jadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan juga sebagai salah suatu nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dianya diabadikan pada duit kertas pecahan 20. 000 rupiah th. emisi 1998.
Ia dikukuhkan juga sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Ketentuan Presiden Republik Indonesia No. 305 Th. 1959, tanggal 28 November 1959).
Masa muda Ki Hajar Dewantara dan awal karier
Soewardi datang dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan basic di ELS (Sekolah Basic Eropa/Belanda). Lalu pernah melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), namun tak hingga tamat lantaran sakit. Lalu ia bekerja juga sebagai penulis serta wartawan di sebagian surat berita, diantaranya, Sediotomo, De Expres, Midden Java, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer, Kaoem Moeda, serta Poesara. Pada masanya, ia termasuk penulis hebat. karya-karyanya komunikatif serta tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Terkecuali ulet juga sebagai seseorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial serta politik. Mulai sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) th. 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan serta menggugah kesadaran orang-orang Indonesia (terlebih Jawa) pada saat itu tentang utamanya persatuan serta kesatuan dalam berbangsa serta bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga jadi anggota organisasi Insulinde, satu organisasi multietnik yang didominasi golongan Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas dampak Ernest Douwes Dekker (DD). Saat lalu DD membangun Indische Partij, Soewardi diajaknya juga.
Als ik een Nederlander was
Pada saat pemerintah Hindia Belanda punya niat menghimpun sumbangan dari warga, termasuk juga pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada th. 1913, muncul reaksi gawat dari kelompok nasionalis, termasuk juga Soewardi. Ia lalu menulis " Een voor Allen maar Ook Allen voor Een " atau " Satu untuk Seluruhnya, namun Seluruhnya untuk Satu Juga ". Tetapi kolom KHD yang paling populer yaitu " Kalau Saya Seseorang Belanda " (judul asli : " Als ik een Nederlander was "), dimuat dalam surat berita De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini merasa pedas sekali di kelompok petinggi Hindia Belanda. Cuplikan tulisan itu diantaranya seperti berikut.
" Seumpamanya saya seseorang Belanda, saya akan tidak mengadakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukanlah saja tak adil, namun juga tak layak untuk menyuruh si inlander memberi sumbangan untuk dana perayaan itu. Inspirasi untuk menyelenggaraan perayaan itu saja telah mengejek mereka, serta saat ini kita keruk juga kantongnya. Mari lanjutkan saja penghinaan lahir serta batin itu! Bila saya seseorang Belanda, hal yang terlebih menyinggung perasaanku serta kawan-kawan sebangsaku adalah fakta bahwa inlander diharuskan turut mengongkosi satu aktivitas yang tak ada kebutuhan sedikit juga baginya ".
Sebagian petinggi Belanda meragukan tulisan ini asli di buat oleh Soewardi sendiri lantaran style bahasanya yang tidak sama dari tulisan-tulisannya saat sebelum ini. Jikalau benar ia yang menulis, mereka berasumsi DD bertindak dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan style sekian.
Disebabkan tulisan ini ia di tangkap atas kesepakatan Gubernur Jenderal Idenburg serta bakal diasingkan ke Pulau Bangka (atas keinginan sendiri). Akan tetapi ke-2 rekannya, DD serta Tjipto Mangoenkoesoemo, protes serta pada akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini di kenal juga sebagai " Tiga Serangkai ". Soewardi saat itu baru berumur 24 th..
Ki Hajar Dewantara Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi beberapa pelajar asli pribumi, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia lalu meniti cita-citanya memajukan golongan pribumi dengan belajar pengetahuan pendidikan sampai beroleh Europeesche Akte, satu ijazah pendidikan yang bergengsi yang nantinya jadi pijakan dalam membangun instansi pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terdorong pada ide-ide beberapa tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel serta Montessori, dan gerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh kerabat Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam meningkatkan system pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bln. September 1919. Selekasnya lalu ia berhimpun dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini lalu digunakannya untuk meningkatkan rencana mengajar untuk sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922 : Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Waktu ia genap berumur 40 th. menurut hitungan penanggalan Jawa, ia ganti namanya jadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tak akan memakai gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal semacam ini dimaksudkan agar ia bisa bebas dekat dengan rakyat, baik dengan cara fisik ataupun jiwa.
Semboyan dalam system pendidikan yang dipakainya saat ini sangatlah di kenal di kelompok pendidikan Indonesia. Dengan cara utuh, semboyan itu dalam bhs Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. yang artinya di depan berikan misal, di dalam berikan semangat, di belakang berikan dorongan . Semboyan ini tetap masih digunakan dalam dunia pendidikan masyarakat Indonesia, utamanya di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat jadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya dikatakan sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran serta Kebudayaan) yang pertamakali. Pada th. 1957 ia memperoleh gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr. H. C.) dari kampus tertua Indonesia, Kampus Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam meniti pendidikan umum, ia dinyatakan juga sebagai Ayah Pendidikan Nasional Indonesia serta hari kelahirannya jadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Ketentuan Presiden RI no. 305 th. 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia wafat di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 serta dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Berita terbaru lainnya :