Inspirasi Hidup Cerita Bripda Taufik |
Kalimat itu tidaklah tanpa ada argumen. Karena, walau dengan semua terbatasnya ekonomi, pemuda kelahiran 20 Maret 1995 ini butuh berjuang keras agar bisa mencapai cita-citanya jadi anggota kepolisian.
Terlahir dari keluarga kurang beruntung, mulai sejak kecil M Taufik Hidayat telah punya kebiasaan usaha keras untuk mencapai apa yang diinginkannya. Pendapatan Triyanto yang cuma untuk buruh bangunan terbilang pas-pasan untuk memenuhi keperluan hidup keseharian. Belum lagi untuk membiayai sekolah Taufik serta ketiga adik-adiknya.
Sering juga, Taufik mesti menunggak bayaran sekolahnya lantaran tidak mempunyai uang. Karenanya, untuk bisa selesaikan sekolahnya serta menolong keuangan keluarga, Taufik ikhlas turut bekerja juga sebagai tukang gali pasir di Sungai Gendol. " Saya bantu bapa ngambil pasir di Sungai Gendol. Ya untuk menutup biaya hidup serta untuk sekolah saya serta adik-adik, " katanya. menunda mimpi Lulus dari sekolah menengah kejuruan (SMK), anak pertama dari empat bersaudara ini juga mesti menahan cita-citanya mendaftar jadi anggota kepolisian. Keperluan ekonomi memaksanya untuk bekerja di sisa sekolahnya, SMK 1 Seyegan, juga sebagai pembina Pramuka merangkap asisten perpustakaan. " Gaji saya dari pembina Pramuka serta asisten perpustakaan seputar Rp 700. 000, " katanya.
Pada awal Desember 2014 lantas, Taufik mengambil keputusan tidak untuk meneruskan pekerjaan di SMK 1 Seyegan. Ia memberanikan tekadnya ikut mendaftar juga sebagai calon anggota polisi di Mapolda DIY. Karena usaha keras serta doa sang bapak, pada akhir Desember 2014 Taufik lulus dari tes Calon Anggota Polisi serta ikuti pendidikan di Sekolah Polisi Negara Selopamioro, Imogiri, Bantul. " Saya kurang yakin, hingga minta ayah menampar pipi. Bahkan juga ketika di gerbang SPN saya masih tetap tak yakin, " tutur Taufik sembari tersenyum saat mengingat satu fragmen dalam kehidupannya. Sesudah lulus dengan pangkat Bripda, Taufiq melakukan karir pertamanya di Direktorat Sabhara Polda DIY. Tetapi, lagi-lagi lantaran tak mempunyai uang serta kendaraan, tiap-tiap pagi waktu pergi dinas, Bripda M Taufik Hidayat mesti ikhlas jalan kaki seputar 7 km. dari tempat tinggalnya di Dusun Jongke Tengah RT 04 RW 23 Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kab. Sleman, menuju Mapolda DIY. " Bangun subuh, salat, lantas jalan kaki ke Mapolda DIY. Terkadang bila cocok ketemu rekan ya bonceng, " katanya.
Dia mengaku, walau sudah bangun subuh, namun dianya kerap terlambat masuk dinas. Keterlambatan tersebut yang memetik keraguan dari atasannya. Sesudah memberi penjelasan serta mengecek kebenaran itu, atasan Bripda Taufik lalu meminjamkan kendaraan pribadinya. " sekarang ini saya dipinjami motor Bpk Wadir Sabhara, " terangnya. Hidup susah Seperti bola tenis, saat dilempar dengan keras ke tanah jadi lentingannya bakal lebih tinggi ke atas. Seperti tersebut kemauan Bripda Taufik. Pahit getir serta kerasnya kehidupan yang ditempuh anggota Sabhara Polda DIY mulai sejak ke-2 orangtuanya bercerai jadi kemampuan untuk melenting lebih tinggi.
Waktu duduk di bangku SMP, Bripda Taufik mesti terima fakta pahit. Ke-2 orangtuanya bercerai. Rumah hanya satu juga di jual oleh sang ibu. Alhasil, Bripda Taufik berbarengan bapak serta ketiga adiknya mesti geser rumah. Tetapi, lantaran duit tak memenuhi untuk beli rumah, Triyanto sebagai bapak mengambil keputusan untuk mengontrak sisa kandang sapi di Dusun Jongke Tengah. Kandang sapi itu lalu dialihfungsikan juga sebagai rumah. " Per bln. bayar Rp 170. 000. Ya memanglah seperti itu kondisinya. Lantainya masih tetap tanah, " ucap Triyanto. Rumah semipermanen memiliki ukuran 2, 5 m x 5 m kondisinya memanglah memprihatinkan. Bahkan juga lantaran belum ada uang, daun pintu serta dinding segi utara dilewatkan terbuka. Untuk kurangi embusan dingin hawa malam serta tetesan air hujan, sangat terpaksa pintu serta segi yang masih tetap terbuka ditutup dengan mengunakan spanduk-spanduk sisa.
Seputar bangunan yang dihuni Bripda M Taufik Hidayat juga adalah kandang sapi yang dikelola grup orang-orang setempat hingga bau menyengat kotoran sapi sehari-hari mesti dirasakannya. Didalam rumah semipermanen itu cuma ada dua kasur tempat tidur. Dua kasur dengan kodisi berlubang itu digunakan oleh lima orang, yakni tiga adiknya, bapak, serta dianya. Bahkan juga, saat Bripda Taufik istirahat dirumah, Triyanto mengalah untuk istirahat di mobil pikap beralaskan tikar serta beratap langit. " Saya suka kalau kerja serta tak pulang. Soalnya kasihan ayah bila tidur diluar. bapa kerap mengalah tidur di jok mobil, " kata Taufik. Lihat situasi itu, di upah pertamanya jadi anggota kepolisian, Taufik merencanakan bakal memakainya untuk mengontrak rumah yang lebih layak.
Ini dikerjakan untuk bapak serta ketiga adiknya yang masih tetap kecil-kecil. " Kelak bila gajian pertama, saya mau pakai untuk mengontrak rumah. Kasihan ayah serta adik-adik bila terus tinggal disana, " katanya.
Ikuti berita terbaru tentang Inspirasi Hidup Cerita Bripda Taufik di sini